Kutitip Surat Ini Untukmu
Assalamu’alaikum,
Segala puji Ibu panjatkan kehadirat Allah ta’ala yang
telah memudahkan Ibu untuk beribadah kepada-Nya. Shalawat serta salam Ibu
sampaikan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga dan para sahabatnya.
Amin…
Wahai anakku,
Surat
ini datang dari Ibumu yang selalu dirundung sengsara…
Setelah berpikir panjang Ibu mencoba untuk menulis dan menggoreskan pena,
sekalipun keraguan dan rasa malu menyelimuti diri. Setiap kali menulis, setiap
kali itu pula gores tulisan terhalang oleh tangis, dan setiap kali menitikkan
air mata setiap itu pula hati terluka…
Wahai anakku!
Sepanjang masa yang telah engkau lewati, kulihat engkau
telah menjadi laki-laki dan perempuan dewasa, laki-laki dan perempuan yang cerdas
dan bijak! Karenanya engkau pantas membaca tulisan ini, sekalipun nantinya
engkau remas kertas ini lalu engkau merobeknya, sebagaimana sebelumnya engkau
telah remas hati dan telah engkau robek pula perasaanku.
Wahai anakku!
tahun-tahun itu merupakan tahun kebahagiaan dalam
kehidupanku. Suatu ketika dokter datang menyampaikan kabar tentang kehamilanku
dan semua ibu sangat mengetahui arti kalimat tersebut. Bercampur rasa gembira
dan bahagia dalam diri ini sebagaimana ia adalah awal mula dari perubahan fisik
dan emosi…
Semenjak kabar gembira tersebut aku membawamu 9 bulan.
Tidur, berdiri, makan dan bernafas dalam kesulitan. Akan tetapi itu semua tidak
mengurangi cinta dan kasih sayangku kepadamu, bahkan ia tumbuh bersama
berjalannya waktu.
Aku mengandungmu, wahai anakku!
Pada kondisi lemah di atas lemah, bersamaan dengan itu
aku begitu gembira tatkala merasakan melihat terjangan kakimu dan balikan
badanmu di perutku. Aku merasa puas setiap aku menimbang diriku, karena semakin
hari semakin bertambah berat perutku, berarti engkau sehat wal afiat dalam
rahimku.
Penderitaan yang berkepanjangan menderaku, sampailah
saat itu. Aku merasakan sakit yang tidak tertahankan dan rasa takut yang tidak
bisa dilukiskan.
Sakit itu terus berlanjut sehingga membuatku tidak
dapat lagi menangis. Sebanyak itu pula aku melihat kematian menari-nari di
pelupuk mataku, hingga tibalah waktunya engkau keluar ke dunia. Engkau pun
lahir… Tangisku bercampur dengan tangismu, air mata kebahagiaan. Dengan semua
itu, sirna semua keletihan dan kesedihan, hilang semua sakit dan penderitaan,
bahkan kasihku padamu semakin bertambah dengan bertambah kuatnya sakit. Aku
raih dirimu sebelum aku meraih minuman, aku peluk cium dirimu sebelum meneguk
satu tetes air ke kerongkonganku.
Wahai anakku…
telah berlalu tahun dari usiamu, aku membawamu dengan
hatiku dan memandikanmu dengan kedua tangan kasih sayangku. Saripati hidupku
kuberikan kepadamu. Aku tidak tidur demi tidurmu, berletih demi kebahagiaanmu.
Harapanku pada setiap harinya, agar aku melihat
senyumanmu. Kebahagiaanku setiap saat adalah celotehmu dalam meminta sesuatu,
agar aku berbuat sesuatu untukmu… itulah kebahagiaanku!
Kemudian, berlalulah waktu. Hari berganti hari, bulan
berganti bulan dan tahun berganti tahun. Selama itu pula aku setia menjadi
pelayanmu yang tidak pernah lalai, menjadi dayangmu yang tidak pernah berhenti,
dan menjadi pekerjamu yang tidak pernah mengenal lelah serta mendo’akan selalu
kebaikan dan taufiq untukmu.
Aku selalu memperhatikan dirimu hari demi hari hingga
engkau menjadi dewasa. Tatkala itu aku mulai melirik ke kiri dan ke kanan demi
mencari pasangan hidupmu.
Semakin dekat, semakin dekat pula hari kepergianmu.
saat itu pula hatiku mulai serasa teriris-iris, air mataku mengalir, entah apa
rasanya hati ini. Bahagia telah bercampur dengan duka, tangis telah bercampur
pula dengan tawa. Bahagia karena engkau mendapatkan pasangan dan sedih karena
engkau pelipur hatiku akan berpisah denganku.
Waktu berlalu seakan-akan aku menyeretnya dengan berat.
Kiranya setelah itu aku tidak lagi mengenal dirimu, senyummu yang selama ini
menjadi pelipur duka dan kesedihan, sekarang telah sirna bagaikan matahari yang
ditutupi oleh kegelapan malam. Tawamu yang selama ini kujadikan buluh perindu,
sekarang telah tenggelam seperti batu yang dijatuhkan ke dalam kolam yang
hening, dengan dedaunan yang berguguran. Aku benar-benar tidak mengenalmu lagi
karena engkau telah melupakanku dan melupakan hakku.
Anakku…
ibumu ini tidaklah meminta banyak, dan tidaklah menagih
kepadamu yang bukan-bukan. Yang Ibu pinta, jadikan ibumu sebagai sahabat dalam
kehidupanmu. Jadikanlah ibumu yang malang ini sebagai pembantu di rumahmu, agar
bisa juga aku menatap wajahmu, agar Ibu teringat pula dengan hari-hari bahagia
masa kecilmu.
Dan Ibu memohon kepadamu, Nak!
Janganlah engkau memasang jerat permusuhan denganku,
jangan engkau buang wajahmu ketika Ibu hendak memandang wajahmu!!
Yang Ibu tagih kepadamu, jadikanlah rumah ibumu, salah
satu tempat persinggahanmu, agar engkau dapat sekali-kali singgah ke sana sekalipun
hanya satu detik. Jangan jadikan ia sebagai tempat sampah yang tidak pernah
engkau kunjungi, atau sekiranya terpaksa engkau datangi sambil engkau tutup
hidungmu dan engkaupun berlalu pergi.
Anakku,
telah bungkuk pula punggungku. Bergemetar tanganku, karena
badanku telah dimakan oleh usia dan digerogoti oleh penyakit… Berdiri
seharusnya dipapah, dudukpun seharusnya dibopong, sekalipun begitu cintaku
kepadamu masih seperti dulu… Masih seperti lautan yang tidak pernah kering.
Masih seperti angin yang tidak pernah berhenti.
Sekiranya engakau dimuliakan satu hari saja oleh
seseorang, niscaya engkau akan balas kebaikannya dengan kebaikan setimpal.
Sedangkan kepada ibumu… Mana balas budimu, nak!?
Mana balasan baikmu!
Bukankah air susu seharusnya dibalas dengan air susu
serupa?! Akan tetapi kenapa nak! Susu yang Ibu berikan engkau balas dengan
tuba. Bukankah Allah ta’ala telah berfirman, “Bukankah balasan kebaikan kecuali
dengan kebaikan pula?!” (QS. Ar Rahman: 60) Sampai begitu keraskah hatimu, dan
sudah begitu jauhkah dirimu?! Setelah berlalunya hari dan berselangnya waktu?!
Wahai anakku, setiap kali aku mendengar bahwa engkau
bahagia dengan hidupmu, setiap itu pula bertambah kebahagiaanku. Bagaimana
tidak, engkau adalah buah dari kedua tanganku, engkaulah hasil dari
keletihanku.
Dapatkah engkau berikan sedikit perlindungan kepadaku
di bawah naungan kebesaranmu? Dapatkah engkau menganugerahkan sedikit kasih
sayangmu demi mengobati derita orang tua yang malang ini? Sedangkan Allah
ta’ala mencintai orang yang berbuat baik.
Wahai anakku,
ibumu inilah sebenarnya pintu surga bagimu. Maka
titilah jembatan itu menujunya, lewatilah jalannya dengan senyuman yang manis,
pemaafan dan balas budi yang baik. Semoga aku bertemu denganmu di sana dengan
kasih sayang Allah ta’ala, sebagaimana dalam hadits: “Orang tua adalah pintu
surga yang di tengah. Sekiranya engkau mau, maka sia-siakanlah pintu itu atau
jagalah!!” (HR. Ahmad)
Anakku.
Aku sangat mengenalmu, tahu sifat dan akhlakmu.
Semenjak engkau telah beranjak dewasa saat itu pula tamak dan labamu kepada
pahala dan surga begitu tinggi. Engkau selalu bercerita tentang keutamaan
shalat berjamaah dan shaf pertama. Engkau selalu berniat untuk berinfak dan
bersedekah.
Akan tetapi, anakku!
Mungkin ada satu hadits yang terlupakan olehmu! Satu
keutamaan besar yang terlalaikan olehmu yaitu bahwa Nabi yang mulia shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: Dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata: Aku
bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah,
amal apa yang paling mulia? Beliau bersabda: “Shalat pada waktunya”, aku
berkata: “Kemudian apa, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: “Berbakti kepada
kedua orang tua”, dan aku berkata: “Kemudian, wahai Rasulullah!” Beliau
menjawab, “Jihad di jalan Allah”, lalu beliau diam. Sekiranya aku bertanya
lagi, niscaya beliau akan menjawabnya. (Muttafaqun ‘alaih)
Anakku,
yang aku cemaskan terhadapmu, yang aku takutkan bahwa
jangan-jangan engkaulah yang dimaksudkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam sabdanya: “Merugilah seseorang, merugilah seseorang, merugilah
seseorang”, dikatakan, “Siapa dia,wahai Rasulullah?, Rasulullah menjawab,
“Orang yang mendapatkan kedua ayah ibunya ketika tua, dan tidak memasukkannya
ke surga”. (HR. Muslim)
Anakku…
Aku tidak akan angkat keluhan ini ke langit dan aku
tidak adukan duka ini kepada Allah, karena sekiranya keluhan ini telah
membumbung menembus awan, melewati pintu-pintu langit, maka akan menimpamu
kebinasaan dan kesengsaraan yang tidak ada obatnya dan tidak ada dokter yang
dapat menyembuhkannya. Aku tidak akan melakukannya, Nak! Bagaimana aku akan
melakukannya sedangkan engkau adalah jantung hatiku… Bagaimana ibumu ini kuat
menengadahkan tangannya ke langit sedangkan engkau adalah pelipur laraku.
Bagaimana Ibu tega melihatmu merana terkena do’a mustajab, padahal engkau
bagiku adalah kebahagiaan hidupku.
Bangunlah Nak!
Uban sudah mulai merambat di kepalamu. Akan berlalu
masa hingga engkau akan menjadi tua pula, dan al jaza’ min jinsil amal… “Engkau
akan memetik sesuai dengan apa yang engkau tanam…” Aku tidak ingin engkau
nantinya menulis surat yang sama kepada anak-anakmu, engkau tulis dengan air
matamu sebagaimana aku menulisnya dengan air mata itu pula kepadamu.
Wahai anakku,
bertaqwalah kepada Allah pada ibumu, peganglah kakinya!!
Sesungguhnya surga di kakinya. Basuhlah air matanya, balurlah kesedihannya,
kencangkan tulang ringkihnya, dan kokohkan badannya yang telah lapuk.Anakku…
Setelah engkau membaca surat ini,terserah padamu! Apakah engkau sadar dan akan
kembali atau engkau ingin merobeknya.
Wassalam,
Ibumu
Semoga kita bisa mengambil hikmah dari catatan ini